Kamis, 19 November 2009

Meja Kayu Bahagia




Menemukan cinta belum tentu akhir yang bahagia
Tanpa cinta juga tidak untuk selamanya
Bukan karena siapa yang salah, tidak semua orang berdua
Bukan juga karena terlalu banyak cinta, hampir semua orang memungutnya
Waktu tidak perlu disudutkan
Menyalahkan diri sendiri juga belum tentu benar

Sekalipun menjadi satu dan belum menggenapi
Aku bukan satu-satunya
Keputusan untuk mengambil perlu dihargai, juga untuk kesempatan mengisi ruang yang kosong
Masih banyak waktu
Terlalu banyak waktu

Aku menikmati semuanya
Begitu hangat di keramaian, semua di sekelilingku, belum denganmu
Karena aku pikir kamupun begitu, dan aku harap memang seperti itu
Siapa kamu?
Kamu yang bertanya siapa aku

Dimana kita yang saling mencari?
Sampai kapan?
Yang kutahu, pasti ada batas untuk kita saling menemukan
Sekali lagi, jangan disudutkan, karena itu belum perlu
Kita masih ingin mencari sebelum menemukan, ditemukan, menggenapi, dan benar-benar menjadi kita..
Menemukan cinta belum tentu akhir yang bahagia
Tanpa cinta juga tidak untuk selamanya
Bukan karena siapa yang salah, tidak semua orang berdua
Bukan juga karena terlalu banyak cinta, hampir semua orang memungutnya
Waktu tidak perlu disudutkan
Menyalahkan diri sendiri juga belum tentu benar

Sekalipun menjadi satu dan belum menggenapi
Aku bukan satu-satunya
Keputusan untuk mengambil perlu dihargai, juga untuk kesempatan mengisi ruang yang kosong
Masih banyak waktu
Terlalu banyak waktu

Aku menikmati semuanya
Begitu hangat di keramaian, semua di sekelilingku, belum denganmu
Karena aku pikir kamupun begitu, dan aku harap memang seperti itu
Siapa kamu?
Kamu yang bertanya siapa aku

Dimana kita yang saling mencari?
Sampai kapan?
Yang kutahu, pasti ada batas untuk kita saling menemukan
Sekali lagi, jangan disudutkan, karena itu belum perlu
Kita masih ingin mencari sebelum menemukan, ditemukan, menggenapi, dan benar-benar menjadi kita..



Cerita Mata pada Hati


mata ini bercerita pada hati
tentang hidup seorang janda miskin
yang selalu masuk keluar lorong
menelusuri gang-gang sempit
mengetuk pintu demi pintu
di setiap pagi hingga petang
jajakan sagu di atas dulang

melangkah tiada beralas kaki
di atas beribu kerikil yang menghampar
di sepanjang jalan hidupnya

kadang pulang membawa berkah
kadang juga menenteng hampa
tapi tak pernah ada kecewa
memancar dari wajahnya

mata ini juga bercerita pada hati
tentang nasib anak-anaknya
yang menanti tak pasti datangnya sesuap nasi
bersama petang yang menuntun pulang ibunya

mata ini kemudiann bertanya pada hati
Adakah yang bisa berbagi?


Goresan Kosong




Aku terus menulis…
Goreskan semua rasa dan asa…
Harapkan sebuah kepuasan,
harapkan sebuah makna, tapi tak kutemukan semua…

Lagi-lagi aku hanya menulis sebuah kekosongan,
kosong yang membuat hati tersesak perih…

Aku yang selalu merasa kosong
tak mampu mengungkap rasa
selalu diam menghadapi semua

Terlalu lama kutipu diri…
Tak pernah tahu ke mana harus melangkah,
tapi aku terus saja berjalan
Tak pernah tahu siapa diri ini, apa diri ini,
hanya menutupi dengan topeng sampai aku tak mengenalinya
Apakah ini hidup?
Akankah selalu penuh dengan kepalsuan?

Hidupku selalu penuh dengan tanya
Tanya tentang makna
Tanya tentang cinta
Bahkan tentang diriku yang tak pernah kukenal

Dunia hanyalah tipuan
Tak pernah menemukan sebuah ketenangan sejati
Di tengah ramai ataupun sepi


Pujangga Cinta




Kata demi kata ditulisnya
Ungkapan rasa di hatinya
Rasa yang rumit adanya
Inilah sang pujangga cinta
Mengobati setiap luka dengan cinta
Tapi membukanya juga dengan cinta

Betapa malang nasib sang pujangga cinta
Menghampiri setiap hati yang ditemuinya
Berharap cinta datang padanya
Cinta yang tak pasti
Cinta yang mungkin kan menyakiti
Akankah sang pujangga cinta berhenti di satu sisi hati
‘Tuk temui cinta sejati…



Waktu Telah Usai




“Suara, dengarkanlah aku, apa kabarnya pujaan hatiku. Aku disini menunggunya masih berharap di dalam hatinya…

“Suara dengarkanlah aku, apakah aku ada dihatinya. Aku disini menunggunya, masih berharap di dalam hatinya…

Mentari perlahan turun dari peraduannya saat aku dengar desau angin yang berhembus. Sayup-sayup telingaku mendengar suaramu memanggilku saat kututup tirai jendela kamarku. Bagai seekor anak kucing kehilangan induknya, aku mulai mencari arah suaramu. Tapi, yang kutemui hanyalah sunyi yang tenggelam di keramaian senja itu. Perlahan aku bangkit, ayunkan langkahku keluar dari kamar yang penuh dengan kenangan indah tentangmu. Mencoba menghirup udara segar yang tlah hilang kurasakan, agar pikiranku menjadi jernih, walaupun dipenuhi oleh bayangmu dan keinginanku yang hanyalah sebuah impian.

Melihat keramaian di luar sana, bangkitkan semangatku ‘tuk kembali ayunkan kaki. Aku ambil kunci kontakku, aku naik sepeda motorku tercinta, menstaternya dan mulai melaju tinggalkan rumah yang kurasa penat sudah. Angin mulai menerpa wajahku, serasa membelai penuh rindu. Saat itu tujuanku hanya satu, aku ingin membuang penat ini, aku ingin teriakkan namamu yang t’lah penuhi rongga dadaku, aku ingin… ah.. aku ingin air laut bawa rinduku yang membuncah kepadamu. Aku ingin ia sampaikan betapa rindunya dan sakitnya hati ini t’lah bercampur, apalagi saat harus ku hadapi kenyataan, bahwa waktuku dengan mu telah usai. Namun aku tetap harus tegar, aku harus tetap kuat agar kehidupanku tetap berjalan dengan apa adanya.

Akhirnya, air laut yang kutuju terpampang di depan mata. Segera kuhentikan motorku, dan aku berlari penuh rindu menyongsong ombak kecil di sore itu, bagaikan kerinduanku yang tak kan pernah terobati akanmu. Segera saja kakiku mulai tersapu oleh bulir-bulir buih yang menepi, mendinginkan kaki yang jua ikut gerah karena lelah pikirkanmu. Aku tak peduli dengan sekelilingku, mereka asyik bermain dengan pasangannya, ataupun keluarganya.

Aku berteriak. Semakin kakiku melangkah maju ke tengah laut, semakin lantang suara ini panggil namamu. Ombak datang menyambutku. Hingga pinggangku tenggelam olehnya aku tak peduli. Aku hanya ingin teriak, teriakkan namamu, teriakkan rinduku, teriakkan luka hatiku, teriakkan sayangku, dan teriakkan keinginanku yang hanya tinggal sebuah keinginan. Dan ketika aku lelah berteriak, kutemui bulir airmata t’lah warnai pipiku sore itu. Aku makin lelah, karena aku sadar, sampai tak mampu bersuarapun, kau tak kan pernah tau. Kau tak kan pernah mengerti semua rasa ini, dan betapa aku ingin sekali menghilangkan rasa itu, betapa aku ingin menyudahi semua angan semu yang t’lah terjalin rapi di hatiku. Namun aku tak pernah mampu dan tak jua kau ijinkan. Ah….

Aku terpaku, terdiam di tempat di mana aku lelah teriak. Laut ini seakan menjawab penatku. Ia mengerti, betapa kecewa yang ada, t’lah ikut ia rasakan. Ah… andai saja kau hadir di sini, memelukku penuh kasih agar aku bisa tenang, ikut pula rasakan kegalauanku tanpa kau harus merasa takut dengan rasa yang aku punya, betapa itu sudah cukup buat jiwaku damai, bahwa kau pun mengerti, walaupun kau tak bisa penuhinya karena kau lebih memilihnya.

Dia yang kau bilang lebih bisa mengerti kamu, lebih mau berkorban apa saja untukmu, dan hatimu telah tertambat olehnya. Dan itu telah merubah semua yang ada pada dirimu, merubah segala yang ada pada kita. Aku menyadarinya. Bahwa waktuku denganmu benar-benar telah usai. Seperti permintaanmu di mimpiku. “Setahun saja ya..”. Ah..

Aku berusaha ikut menjauh, karena kau t’lah membentangkan seutas tali di antara kita. Membentangkan jarak yang tak kuasa aku cegah. Namun permintaanmu.. aku tak kuasa menolaknya. Tahukah kau, jantungku serasa berhenti berdetak, nafasku tak menghirup udara apapun, saat kau minta aku tetap menjadi temanmu, sementara kau tahu, betapa hati ini, yang t’lah tertambat olehmu, menyadari kau lebih ingin bersamanya.

Aku tak pernah habis berpikir, bagaimana aku sanggup penuhi permintaanmu, bila tiap kali berada di dekatmu hanya perih yang kurasa. Perih yang sebabkan aku tak lagi bisa mengerti dan memahamimu, hingga buatmu tak lagi merasa nyaman berada di dekatku. Perih yang jua terbalut dengan bahagia bahwa kau masih ijinkanku ‘tuk menjadi bagian luar dari kehidupanmu.

Ah… memikirkanmu dan rasaku, membuatku tak sadar, ternyata mentari t’lah cukup lama menghilang, dan malam mulai menjelang. Aku bergegas tinggalkan laut, tinggalkan seluruh kepenatan dan resahku bersamanya, agar aku bisa kembali tertawa dan ceria, meskipun telah tergores hati ini. Hh.. beban ini memang masih ada, tapi ia telah berkurang cukup, hingga buatku mampu mencerna tentang apa yang pernah kau sampaikan dulu, “Janganlah kau bunuh sayangmu, tapi cukuplah kau bersyukur bahwa kau masih punya aku sebagai temanmu”.

Teman.. memanglah abadi. Seperti halnya sayang, ia juga abadi. Aku harap, sayangku ini juga bisa abadi, sperti pintamu dulu…

Dirimu dihatiku tak lekang oleh waktu, MESKI KAU BUKAN MILIKKU
Intan permata yang tak pudar, tetap bersinar, mengusik kesepian jiwaku…
Tak lekang oleh waktu….